Senin, 17 November 2008

Pengantin Kecil by: Ed. Jenura

Ghea bertanya: "Mama, nikah tuh apa?"

Mama yang sedang membereskan baju-baju, tersenyum dulu sebelum menjawab: "Nikah tuh seperti pesta Kak Winnie dan Kak Bagus minggu lalu, ingat? Seperti Mama dan Papa. Oom Wisnu dan Tante Firda. Mereka yang menikah, berjanji akan selalu bersama dalam berbagi sehat dan sakit, saling menjaga, saling baik…"

"Oooooh."
"Kenapa, Sayang?"
"Ga apa-apa," jawab Ghea sambil menarik selimut, memeluk Teddy Bear-nya, lalu memejamkan mata.
Mama mengecupnya.
* * *
Ini gara-gara Arie. Lelaki berhidung bangir itu melamar Ghea minggu lalu, berteriak dari pintu: "Hei, Ghea! Kita nikah yuk? Kamu jadi istri aku. Mau, kan?"
"Apaaaaa?" Ghea terpekik kaget.
Arie nyengir. "Pikir-pikir aja dulu. Sekarang aku mau demo. Kamu ikutan ya?"
Lalu Arie berdemo. Katanya dia tidak mau dianggap anak-anak, dan bocah itu mengajak seluruh kelas berteriak ‘BUKAN!’ setiap kali Bu Eva memanggil kelas dengan sebutan ‘anak-anak’.
"Selamat pagi, anak-anak," kata Bu Eva yang cantik begitu masuk kelas.
"Bukaaaaannn!" jawab Arie dengan keras diikuti beberapa anak lain.
Bu Eva mengernyitkan kening. "Kenapa menjawab begitu? Hayo, anak-anak…"
"Bukaaaaannn!"
Bu Eva tersenyum agak terpaksa sambil menatap dengan curiga ke seluruh penjuru kelas. "Anak-anak…"
"BUKAAAAAAAAAAAAAAAAAAANNNN!"
Kali ini lebih keras dan panjang diikuti tawa di sana-sini. Demo ternyata asyik, pikir anak-anak.
Dari bangkunya, Arie tersenyum lebar.
Segera Bu Eva mengerti. "Sepertinya pagi ini Arie harus bercerita, seperti biasa. Ayo Arie, maju ke depan…"
Arie pun segera maju ke depan kelas dan bercerita bahwa kemarin dia menonton film tentang demonstrasi, judulnya Ghea lupa, karena dalam bahasa Inggris. Tapi kata Arie, film itu memberi inspirasi baginya.
Bu eva menerangkan pada kelas bahwa inspirasi berarti ide.
Ghea kagum sekali pada Arie. Semenjak pertama kali kenal, Ghea tahu bahwa Arie pintar meskipun suka mengacau di kelas. Itu kata Farah, sahabat Ghea. Arie Si Pengacau, katanya selalu.
Arie selalu punya ide-ide. Saat pelajaran Bernyanyi, misalnya, Arie mungusulkan agar semua perkataan dinyanyikan. Dia mengusulkannya dalam lagu dangdut yang genit dan lucu sehingga seisi kelas langsung setuju. Bu Eva pun senang mendengar ide tersebut. Sangat kreatif, katanya sambil lalu menjelaskan bahwa kreatif artinya punya banyak ide bagus.
Maka Kelas Bernyanyi betul-betul penuh nyanyian. Bahkan saat Sandy diledek gendut oleh Teguh (dalam nada rap), Sandy membalasnya (dalam nada dangdut) sambil menari-nari dan bernyanyi, "Aaachh, biarin ajaaaa, dariiiipada eluuuuu kemaaaren kentutnya bauuuuu…"
Kelas pun gaduh dalam gelora tawa.
Menurut Ghea, Arie sangat pintar dan lucu. Tapi saat Arie mengajaknya menikah, Ghea kaget. Dia suka pada Arie, suka sekali. Tapi menikah itu seperti apa? Makanya Ghea bertanya pada Mama malam ini.
* * *
Begitu turun dari mobil jemputan, Ghea langsung menghampiri Windi dan Farah, sohib-sohibnya, yang melambai dari ayunan.
"Ayo dorong, Win, nanti gantian."
Windi mendorongnya sambil menghitung keras-keras.
"Satu… Dua… Tiga… Empat… Lima…"
Tiba-tiba Arie muncul, bersandar di tiang ayunan. "Ghea, aku mau ngobrol."
"Ah! Arie ngeganggu aja! Ghea kan lagi main ayunan!" Farah merengut. "Pergi sana! Kamu laki-laki main sama anak laki-laki lagi!"
"Aku kan gak ngajak kamu!" Arie mencibir pada Farah. "Yuk? Ghe?"
Windi berhenti mendorong.
"Ghea, jangan ih!" Farah manyun. Matanya menatap Arie dengan galak. " Arie! Kamu anak nakal! Pengacau! Kemarin kamu ngerobek kertas lipatanku."
"Gak sengaja kok. Lagian bukan ngerobek, tapi kena air tumpah."
"Tapi jadi robek."
"Ah, itu sih kertasnya aja ketipisan," jawab Arie kalem. "Coba kamu pake kayu lipat."
"Huh! Dasar Pengacau!" Farah berlalu masuk ke kelas diikuti Windi.
Ghea tersenyum pada Arie.
Arie membalas senyumnya. Giginya ompong satu.
"Eh, kamu mau ngomong apa?" tanya Ghea malu-malu, gak tahan liat ompong Arie.
"Aku cuma mau ngajak nikah lagi," kata Arie sambil mendorong ayunan. "Kalo aku liat di film sih, nikah tuh biasa-biasa aja. kadang bertengkar, kadang jalan-jalan atau cuma ngobrol, makan dan nonton TV. Gak susah. Mau, ya?"
"Tapi aku gak mau bertengkar sama kamu. Kata Mama, nikah itu artinya berbagi suka-duka dan berbagi penyakit juga …"
"Kalo begitu kita main aja. Aku pengen main sama kamu terus."
"Aku tanya Mama dulu, ya?"
"Ya tanyain cepet-cepet. Aku udah gak sabar. Anak-anak udah tau aku mau nikah sama kamu, kok Mama kamu belum sih?"
Ghea menunduk malu.
* * *
"Mama?"
"Ya?" Mama berhanti mengetik di atas laptopnya. Menoleh pada Ghea.
"Kata Mama, Arie nakal gak?"
"Siapa yang bilang Arie nakal?"
"Farah. Kemarin Arie numpahin air ke kertas lipat Farah. Kata Farah, Arie nakal. Kata Lulu dan Windi juga. Arie suka nyabut rambut Lulu dan nyembunyiin tempat minum Windi. Katanya biar Windi gak pengen pipis mulu."
Mama tersenyum. Jemarinya kembali pada keyboard.
"Arie punya pistol air," Ghea meneruskan. "Dia main tembak-tembakkan sama Tommy, Andy, Chandra. Kemarin Galuh nangis ditembak Tommy."
"Oh ya?"
Ghea tersenyum. "Kena roknya. Basah seperti ngompol. Arie ketawa sampai berguling-guling di rumput diikuti anak-anak laki-laki yang lain. Mereka pura-pura jadi ban mobil mau menabrak Galuh. Galuh marah. Dia musuhan sama anak laki-laki."
"Oh ya?"
"Tapi Ghe gak musuhan sama Arie."
Mama menggeleng-geleng.
"Arie pernah dihukum Bu Eva karena pernah melempar-lempar popcorn ke atas langit-langit kelas. Arie main Salju popcorn. Bu Eva bilang, gak baik membuang-buang makanan. Arie dihukum menyapu lantai, tapi Arie malah jadi tukang sapu kakek-kakek. Dia menyapu lamaaa sekali, sambil bungkuk dan batuk-batuk. Lalu Tommy juga pengen jadi tukang sapu. Chandra juga. Teguh juga. Semua jadi tukang sapu kakek-kakek yang bongkok dan batuk…"
Mama tertawa kecil.
Ghea meneruskan. "Mama, kata Bu Eva, Arei sangat pintar."
Mama tahu bahwa Ghea menyukai Arie. Soal ‘kenakalan’ Arie yang terkenal itu, Mama juga tahu dan pernah melihat sendiri ketika suatu hari Arie bermain Ikut Bu Eva di awal masa sekolah. Saat itu Bu Eva hampir menangis frustasi karena ke mana pun dia pergi saat istirahat, belasan bocah lelaki selalu mengikutinya. Anak-anak itu dikomandoi Arie. Mereka berbaris menguntit Bu Eva yang pengen ke kamar mandi, ke kantor Kepala Sekolah, dan menunggui Bu Eva dengan sebar saat lagi makan karoket dan telpon-telponan dengan pacarnya.
Kharisma Arie memang luar biasa. Mama pikir Arie berbakat jadi pemimpin.

"Mama?"

"Ya, Sayang?"
Ghea takut sekali bertanya… tapi harus, "Boleh Ghe nikah sama Arie?"
Mama menahan senyumnya. "Arie baik sama kamu, kan?"
Ghea mengangguk cepat. Arie memang tak pernah mengganggunya.
"Boleh," kata Mama.

* * *

"Arie! Kita boleh nikah."
"Horeeee…!" Arie mengepalkan tinjunya ke atas lalu berlari berputar mengelilingi Ghea.
Gadis kecil itu bertepuk tangan dan tertawa-tawa.
"Aku pesawat terbaaaaaang…" Arie merentangkan tangannya. "Awas merunduk! Hei pohon-pohon! Merunduuuuuukkk!" Lalu disabetnya tubuh-tubuh anak yang lain dengan tangannya. "Awaaaaass!"

"Arie! Kamu nakal!" Utari menjerit ketika kepangan rambutnya tersapu rentangan Arie. "Aku bilang ke Bu Eva!"

"Bilangin aja sana! Dasar Pengadu! Siiiiinnnggg… Siiiiiiinnnggg!"

Ghea duduk di bangku dekat Ruang Melukis, menunggu Arie capek.
Arie menyusulnya tak lama kemudian, terengah-engah.

"Kita nikahnya besok aja," kata Arie dengan wajah cerah. "Mau ya?"
"Mau."
"Besok, ya? Tos dulu donk."

Mereka tos.


Setelah nikah, aku jemput kamu tiao mau sekolah," Arie membeberkan rencananya. "Tapi kamu mesti bangun pagi, soalnya Mama nganterin Kak Tigin juga. Kita duduk di kursi belakang sambil nikah."
Ghea mengangguk mantap. "Kak atigin nakal gak?"
"Nggak. Dia baik, tapi cuek. Kerjanya main gim."
"Nanti kamu kerja apa?"
"Aku?" Arie berpikir sebentar. "Aku mau jadi Penemu Vitamin. Semua ada 26 vitamin, dari A sampai Z. Aku mau cari sisanya. Kalo udah ketemu, aku masukin kue lalu kamu makan biar sehat terus."

Ghea tersenyum manis. Matanya bercahaya.

Arie menatapnya dengan riang. "Aku suka kamu. Mata kamu kayak bintang. Idung kamu kayak jambu. Aku suka jambu dan bintang."
Ghea terkikik.
"Kenapa ketawa?"
"Habis omongan kamu barusan bikin perutku jadi lucu."
Arie tertawa senang. "Nanti kalau sudah nikah, kamu jadi sapi ya?"
"Sapiiii?"
"Tiap kupanggil, kamu harus menjawab ‘moooo’ "
"Gak mau ah!"
"Nanti aku jadi ular. Tiap kamu panggil aku, aku menjawab ’ssssshhh…’ "
Ghea tertawa.
"Cobain deh. Ghe?"
"Apa?"
"Salah. Mestinya ‘mooooooo…’ "
Ghea terkikik. "Aku mau jadi ular aja."
"Boleh. Tes dulu ya? Ghe?"
"Ssssssssshhh…" Ghea terkikik lagi. "Arie?"
"Moooooooo…" Arie menirukan suara sapi bagus sekali. "Ghe?"
"Sssssssssshhhhihihihi…"

Mereka tertawa-tawa. Arie nampak puas. "Kamu ular bagus! Nanti kita main-main jadi unicorn juga."
"Unicorn tuh apa?"
"Unicorn adalah kuda yang bisa terbang. Ada tanduknya, satu, di dahi. Kita beli es krim, lalu cone-nya kita tempelkan di dahi kita."
"Unicorn ngapain aja?"
"Ya kedinginanlaaaah… Mungkin nanti pilek sedikit."

* * *

Hari ini adalah esok yang dijanjikan Arie kemarin.
Di sekolah, lelaki kecil itu memberi Ghea donat dan mendorongnya berputar di karosel mini, lalu dengan tangkas melompat duduk di sebelahnya. Sejak mereka bertemu di pagar sekolah, senyumnya tak lepas.

"Donat ini buat aku?" Ghea tersenyum juga. "Kue Nikah?"
"Bukan. itu cincin nikah."
"Cincin nikah kok donat?"
"Orang dewasa berpegangan tangan karena mereka pakai cincin nikah, jadi mereka harus berpegangan terus biar cincinnya gak ilanh atau jatoh. Aku mau nikah sama kamu, tapi aku gak bisa pegangin kamu terus. Aku harus menggambar, menulis, perang-perangan, ngupil… Mangkanya pake donat aja. Kita makan cincinnya biar gak ilang."

Menurut Ghea, ide tersebut bagus sekali.

Mereka lalu makan donat sambil merasakan angin keras yang menerpa wajah. Karosel berputar pelan.
Hari ini kebetulan udara agak dingin. Bu Eva memutuskan untuk memanggil anak-anak masuk kelas lebih awal lalu membacakan cerita Jaring Laba-Laba Charlotte. Ghea menyimak. Sesekali dia melihat Arie berbalik dari bangkunya, memandangnya dengan senyum lebar.

Rasanya seperti dibelikan baju dan sepatu baru…..

Tidak ada komentar: